KAJIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA DALAM ASPEK KOGNITIF
Pendahuluan
Lintas budaya dapat dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pembelajaran multikultur, yaitu pembelajaran yang dapat menfasilitasi peserta dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant dalam Mendatu, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto dalam Mendatu, 1996).
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku dan pola pikir individu auau aspak konitifnya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
Pembahasan
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Lewin memberikan penjelasan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan lingkungan. Meksipun terdapat konstruk psikologis individu yang sulit ditembus oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap memiliki kontribusi dalam perkembangan individu. Dalam teori Medan yang digagas Lewin ini, pribadi tak dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya.
Kelly mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan mereka pun mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis perilaku tertentu.
Terdapat suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi pola pikir dan kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
Kognitif dalam Lintas Budaya
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan (Neisser,1976). Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untukmemenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkandengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:
1. Kecerdasan Umum
Flynn membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14 negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam 1 standar deviasi) pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan rata-rata dalam tes IQ dan populasi adalah jauh dari kesetabilan dan dapat berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157 sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan. Penemuan dari Van Vijver mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
Mc. Shane dan Berry mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
2. Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menerangkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif ;
a. Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
b.Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
c. Faktor sosial
d. Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sama disetiap tempat dan kebudayaan tertentu. Pada tahun 1987 Dasen dan Ribaupiere menyimpulkan bahwa teori Piagetian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
1. Struktur invarian yang diabtasi adalah independent
2. Model dapat diterapkan kepada beberapa domain.
3. Perilaku spontan dapat diobservasi.
4. Model menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan perbedaan antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
5. Ada konvergensi antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
6. Mereka menyebabkan adanya spesifikasi domain.
3. Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau membangun.
Para pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi memberikan cangkupan yang sangat luas untuk menguji keaslian dari perbedaan-perbedaan model.
4. Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Adapun pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:
Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.
Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
Penutup
Hakikat dari perbedaan yang ada di muka bumi, yaitu agar manusia saling mengenal sesamanya. Adanya latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan perbedaan pemikiran. Namun demikian, perbedaan pemikiran itu hendaknya tidak melulu menjadi suatu perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen.
Ketepatan kita dalam memandang suatu permasalahan melalui perspektif tertentu akan dapat mengeliminasi permusuhan antar golongan. Sebagaimana dikemukakan oleh Freud, pada hakikatnya insting mati memang telah ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, penggunaan sudut pandang yang tepat dalam mengkaji suatu masalah budaya adalah langkah yang tepat untuk dapat mengendalikan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com
0 komentar:
Posting Komentar