Dalam bab ini akan dijelaskan berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan factor kognisi dalam pengaruhnya terhadap konseling lintas budaya . ada bebera poin penting yang harus diperhatikan mengenai bab ini. Hal-hal tersebut antara lain :
1. General intelligence
2. Genetic Epistemology
3. Cognitive style
4. Contextualized cognition
A. General Intelligence ( Panggih Wahyu Nugroho )
Dalam bagian yang pertam akan dijelaskan tentang general intelligence. Da bab ini pokok bahasannya antara lain:
1. The notion of G
2. Psychometric evidence beyond G
3. Problem in ability testing
4. Pendekatan lain untuk G
1. The notion of G
Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai suatu pendangan atau dugaan tentan G. Keberadaan G sendiri didasari atas adanya data atau bukti-bukti yang berhasil diperoleh dari psikometri, terutama didasari oleh suatu penemuan yang konsisten dari korelasi positif antara hasil yang didapat dengan hasil tes kognitif. Spearman menyebut fonomena ini sebagai G.
Spearman memberikan beberapa pendalilan tentang General Intelligence. Dia menunjuk G dan menjelaskan tentang semua penilaian tes kognitif
Thrustone menemukan yang lebih spesifik yaitu adanya factor yang tidak terkorelasi yang telah dilihat tidak sesuai dengan factor yang mempengaruhi keberadaan The notion of G. adanya perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan teknik analisa yang digunakan.
Ketika G di teskan terhadap beberapa budaya terjadi suatu perbedaan budaya dalam segi intelegensi yangcukup mencolok yang menyebabkan terjadinya rasisme, sehingga keberadaannya dianggap controversial. Fenomena ini kemudia disebut sebagai bias budaya.
Pada tahun 1979 vermon mengadakan pembelaan terhadap “Intelegensi A dan B”. Dia mengatakan bahwa intelegensi manusia bukan budaya daerahnya akan tetapi adalah genetic equipment dan potensi individu masing masing.
Lebih lanjut Vermon memperkenalkan tentang dugaan terhadap adanya intelegensi C untuk menjelaskan tentang kemampuan individu dengan tes intelegensi. Dalam pembelaan ini antara Intelegensi B dan C diijinkan adanya peran budaya lain.
2. Psychometric evidence beyond G
Ini adalah cara lain dalammencari penyebab terjadinya perbedaan lintas budaya dalam hal skor dalam ter kognitif dibandingkan dengan G.
Flynn membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14 negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam 1 standar deviasi) pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan rata-rata dalam tes IQ dan populasi adalah jauh dari kesetabilan dan dapat berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157 sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan.
Penemuan dari Van Vijver mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
3. Problem in ability testing
Banyak kemampuan tes lintas budaya mengabaikan adnya isu-isi sehingga terkadang berlanjut pad perbuatan yang kurang baik. Untuk mengatasi hal in perlu adanya beberapa prosedur yang perlu di pelajari oleh para penguji.
Van Der Flier misalnya, dia mensyaratkan beberapa pertanyaan. Syarat tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Apakah daerah tingkah laku yang dicontohkan olehutem yang paling sedikit mempunyai artu yang sama?
b. Apakah kemempuan atau peragaan dengan permainan mempunyai peranan yang sama dalam perilaku organisasi dari anggota kelompok suatu kelompok baru mempunyai kesamaan dengan budaya asli
c. Apakh skor dalam pengertian kwantitatif sama artinya untuk pengambilan tes secara bebas dari latar belakang budaya mereka.
Tes kemampian lintas budayan selalu menyuratkan hal-hal sebagai berikut:
a. Suatu prosedur digunakan untuk Negara yang berbeda dibandingkan dengan rancangan asli.
b. Pengambil tes dengan satu perbedaan budaya dalam suatu negara yangb berbeda dari anatara satu suku dengan suku lain
c. Pengambil tes yang pada saat tersebut hidup di Negara yang berbeda mengambil bagian dalam prosedur penilaian yang sama.
4. Pendekatan lain untuk G (Didit)
Dalam pendekatan G terdapat adanya suatu kekontrasan yang cukup tunggi dalam melihat suatu kemampuan kognitif seseorng dilihat dari segi lintas budaya. Tradisi mutlak terhadap interpretasi rasial adalah salah satu yang menyebabkan adanya suatu pandangan lain terhadap orang pribumi dari suatu daerah. Pandangan tersebut adalah pandangan tentang budaya, karakteristik daerah dan yang terutama pandangan terhadap kemempuan kognitif mereka.
Mc. Shane dan Berry mempunyai suatu tujauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini di[pengaruhi oleh factor genetic, keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
Cultural factors in memory. (fitria)
Riset antar budaya pada memory telah diterima oleh Wagner (1981, 1993) berikut model umum yang ia buat suatu perbedaan antara dua aspek utama, proses kontrol dan corak struktural. Corak yang structural meliputi sauatu penyimpanan memori jangka pendek dan suatu penyimpanan jangka panjang, yang mempunyai suatu kapasitas terbatas untuk informasi.Menurut Wagner memori structural tidak banyak terpengaruh oleh factor budaya.
Berdasarkan penemuan Baddeley’s mengemukakan tentang “articulatary loop hypothesis”. Teori ini mengatakan bahwa kapasitas memori jangka pendek memiliki durasi max 2 detik, setelah itu setelah itu memerlukan penyegaran (refresh) kembali.
B. Genetic Epistemologi (M Angga)
Genetic Epistemologi adalah salah satu t6eori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang”
Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menerangkan adanya 4 tahap perkembangan manusia, yaitu:
1. Sensorimotorik (usia 2 tahun), yaitu ketika seorang anak berhubungan dengan realita melalui aktivitas sensorik dan motorik.
2. Konkrit-operasional (6/7 sampai puberitas muncul) anak mampu menampilkan konservasi dan berpikir terbalik.
3. Praoperasional (2 – 6 tahun) anak mulai mengatur duniannya berdasarkan ide-idenya.
4. Formal operasiaonal ( setelah munculnya puberitas) anak telah memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara hipotesis deduktif dan berpikir ilmiah.
Menurut piaget ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitf:
1. Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
2. Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
3. Faktor sosial
4. Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sam disetiap tempat dan kebudayaan tertentu.
Pada tahun 1987 Dasen dan Ribaupiere menyimpulkan bahwa teori Piagetian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
1. Struktur invarian yang diabtasi adalah independent
2. Model dapat diterapkan kepada beberapa domain.
3. Perilaku spontan dapat diobservasi.
4. Model menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan perbedaan antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
5. Ada konvergensi antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
6. Mereka mnyebabkan adnya spesifikasi domain.
Teori kejiwaan dan Imajinasi (Setyo)
Perkembangan epistemology genetic. Perhatian tentang psikologis banyak mengalami pertumbuhan, dimulai dari Flavell bersama dengan primatologisnya diubah menjadi teori kejiwaan yang cenderung mempermasalahkan pernyataan mental kepada diri sendiri dan orang lain. Gambaran teori kejiwaan dan memahami kebiasaan orang lain dan pernyataan psikologi dengan proyeksi diri sendiri pada orang lain.
Ada indikasi , dimana simpanse memiiki daya piker rendah. Proses dasar teori kejiwaan umumnya di kanak-kanak, belajar dengan anak kecil memberi hasil campuran. Kebanyakan anak-anak dapat memahami kepercayaan yang salah, di umur 5 th. Beberapa dari anak umur 6th memberikan jawaban yang salah, dan penulis berspekulasi tentang ketidak pahaman mereka tentang tugas itu.
Perbedaan budaya dalam teori kejiwaan dilaporkan menguji anak-anak india dalam 2 kelompok kecepatan, anak di India lebih lambat dari pada yang dilaporkan di barat, dan ada perbedaan yang signifikan antara anak yang kaya dengan anak yang miskin pada usia 5-6th.
Lillard menyimpulakan 4 bentuk dasar keberagaman psikologi berfikir masyarakat
1. perbedaan ketertarikan pada magic
2. perbedaan konsep berfikir dan berperasaan masukan dan hubungan antara tubuh dan jiwa.
3. penolakan emosi negatif
4. perbedaan hasil berfikir, pikiran rasional melawan perasaan dan ilmu pengetahuan melawan spiritual.
Selanjutnya penulis membedakan menjadi 3 tingkat:
- tingkat cognitif
- tingkat imajinasi.
- tingkat mengkonsep
C. Cara berpikir ( Juna)
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengmbang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau membangun.
Para pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi memberikan cangkupan yang sangat luas untuk menguji keaslian dari perbedaan-perbedaan model.
D. Contextualized cognition (Fajar)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition.Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literature.
0 komentar:
Posting Komentar